Swaranusa7.com-Pada sebuah negara yang menerapkan model demokrasi dalam sistem pemerintahannya, para pemimpinnya diangkat berdasarkan pilihan warga-bangsanya. Pun demikian dengan wakil rakyatnya. Pucuk pimpinan eksekutif dan legislatif ini ditentukan oleh dukungan mayoritas rakyatnya.
Wujud demokrasi di Indonesia dimanifestasikan dalam Pemilu dan Pilkada. Juga Pilkades. Ketiga moment pesta demokrasi ini menjadi media bagi rakyat untuk mengganti pemerintahan secara konstitusional.
Dalam demokrasi itu satu orang satu suara. Rata dan setara. Siapa yang meraih suara terbanyak maka dia yang terpilih. Suka atau tidak. Setuju atau tidak. Karenanya mesti ada kesiapan untuk menang, tetapi juga siap untuk kalah.
Dalam Pemilu dan Pilkada, juga Pilkades, ada kompetisi, ada kontestasi, ada persaingan untuk menjadi yang terpilih. Agar kontestasi berjalan dengan baik dan sehat, aturan mainnya tertuang dalam regulasi berupa Undang-Undang dan peraturan turunannya.
Dalam regulasi tersebut diatur cara apa yang diperbolehkan untuk menjadi pemenang, dan cara apa yang terlarang. Cara terlarang penting disertakan agar persaingan berjalan dengan fair dan sportif. Sehingga dengan begitu kontestasi terselenggara secara bermartabat.
Tetapi selalu saja ada kesenjangan antara das sollen atau apa yang seharusnya, dengan das sein atau apa yang terjadi. Dalam hal ini, regulasi melarang beberapa cara untuk dilakukan agar menjadi yang terpilih. Namun faktanya, larangan itu tetap dilakukan.
Misalnya dalam regulasi Pemilu dan Pilkada disebutkan bahwa ASN dan perangkat desa wajib netral atau tidak menunjukkan keberpihakan. Mereka memiliki hak politik untuk memilih. Namun tidak boleh menunjukkan keberpihakan secara terbuka.
Tetapi faktanya di lapangan, ada banyak ulah ASN dan perangkat desa yang secara terang-terangan menunjukkan dukungannya kepada pasangan calon tertentu. Karena ini merupakan ulah pelanggaran terhadap regulasi, maka penyelenggara memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan.
Lembaga yang memiliki kewenangan untuk memproses pelanggaran Pemilu atau Pilkada adalah Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu. Sementara Pilkades tidak menjadi bagian dari Pemilu dan Pilkada. Bawaslu tidak bisa turun tangan dalam perhelatan pemilihan Kepala Desa.
Sebuah dugaan pelanggaran Pemilu dan Pilkada yang diproses oleh Bawaslu, bisa masuk dalam kategori pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana Pemilu atau Pilkada, atau pelanggaran kode etik. Tergantung kepada subjek yang melakukan dan jenis pelanggarannya.
Bila pelanggaran itu dilakukan oleh penyelenggara sendiri, baik KPU beserta jajarannya hingga ke tingkat KPPS, maupun Bawaslu beserta jajarannya sampai ke tingkat Pengawas TPS, maka bisa dikenakan delik dugaan pelanggaran kode etik. Sanksinya bisa berupa teguran hingga pemecatan.
Kalau pelanggaran itu bersifat teknis dalam tahapan Pemilu dan Pilkada, bisa masuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Sanksinya bisa dari mulai peringatan tertulis hingga diskualifikasi atau tidak disertakan dalam kontestasi atau tahapan berikutnya.
Sementara pelanggaran pidana Pemilu dan Pilkada adalah tindakan yang dilakukan oleh siapapun dalam bentuk ancaman, keterangan tidak benar, menguntungkan, merugikan, mengganggu, menghalangi, kampanye di luar jadwal, menjanjikan, memberikan uang saat pemungutan suara, yang dilakukan selama masa tahapan Pemilu dan Pilkada digelar.
Khusus untuk penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu dan Pilkada, Bawaslu melibatkan lembaga lain yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Tiga lembaga ini tergabung dalam satu tim dengan nama Sentra Gakkumdu atau Penegakkan Hukum Terpadu.
Penanganan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh penyelenggara ad hoc sepenuhnya menjadi kewenangan Bawaslu. Sementara penanganan dugaan pelanggaran kode etik oleh penyelenggara setingkat Kabupaten atau Kota, Provinsi, hingga tingkat Nasional, diproses oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP.
Bila dugaan pelanggaran administrasi sepenuhnya menjadi kewenangan Bawaslu, maka penanganan dugaan pelanggaran pidana Pemilu dan Pilkada, selain diproses oleh Bawaslu, juga melibatkan Kepolisian dan Kejaksaan yang tergabung dalam Sentra Gakkumdu tersebut.
Sanksi atas pelanggaran pidana adalah penjara. Pun pelanggaran pidana Pemilu dan Pilkada. Lazimnya, untuk sebuah penanganan pelanggaran pidana, diawali dengan pemeriksaan awal oleh Kepolisian, dituntut oleh Kejaksaan, dan diputuskan oleh Pengadilan.
Sederhananya, dalam perkara pidana Pemilu dan Pilkada, secara kelembagaan Bawaslu dianggap “tidak cukup mumpuni” untuk memenjarakan orang. Karenanya, atas dugaan pelanggaran pidana Pemilu dan Pilkada, melibatkan Kepolisian dan Kejaksaan, lembaga yang selama ini menjadi institusi penegakkan hukum pidana.
Masalahnya, kerap terjadi persepsi yang berbeda antara cara pandang Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. Karenanya tidak aneh bila dalam satu kasus menurut Bawaslu sebuah dugaan pelanggaran pidana Pemilu dan Pilkada dianggap memenuhi syarat untuk diproses, dimentahkan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.
Atau bisa juga sebaliknya walau jarang terjadi bahkan mungkin tidak pernah terjadi; sebuah dugaan pelanggaran pidana Pemilu dan Pilkada yang dinilai memenuhi syarat untuk diproses menurut Kepolisian atau Kejaksaan, namun dimentahkan oleh Bawaslu.
Salah satu contoh penanganan dugaan pelanggaran pidana Pilkada adalah kasus yang melibatkan pengurus organisasi tempat berhimpunnya para Kepala Desa, yang diduga tidak netral dalam Pilkada 2024 di Provinsi Banten.
Kasus ini sudah dikaji oleh Bawaslu sebagai lembaga pemeriksa awal atau pendahuluan. Telah dinyatakan memenuhi syarat untuk diproses ke tahap berikutnya bersama Kepolisian dan Kejaksaan. Hasilnya, Sentra Gakkumdu bersepakat untuk melimpahkan berkas dan kasus ke Kejaksaan.
Kejaksaan sudah menerima dan menetapkan tersangka. Namun saat ini belum diketahui bagaimana kelanjutan dari kasus tersebut. Padahal dalam proses pemeriksaan awal dan pembahasan di Sentra Gakkumdu, ketiga institusi telah bersepakat dan sependapat bahwa kasus ini telah memenuhi syarat untuk naik ke proses berikutnya.
Apakah ini menunjukkan bahwa Bawaslu tidak maksimal dalam memerankan fungsinya melakukan penindakan, selain pencegahan dan pengawasan? Apakah hal ini kemudian bisa diartikan sebagai upaya pelemahan fungsi dan kewenangan Bawaslu?
Tangerang, Rabu, 18 Desember 2024
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)