Jonggol, Swaranusa7. com-06 Agustus 2025— Oleh: M. Idris Hady, S.E.(Sekjen Aliansi Damai Anti Penistaan Islam/ADA API)
Di balik hiruk-pikuk demokrasi Indonesia yang tampak semarak, tersimpan luka dalam yang menganga. Luka itu tak lain adalah hasil dari kebohongan sistemik, pembiaran oleh lembaga-lembaga negara, dan kehancuran tatanan konstitusi yang tak lagi berakar pada jati diri bangsa.
Dalam perenungan yang dalam: Bagaimana keberadaan seorang presiden “yang diduga” memiliki ijazah palsu, telah menjadi cermin rusaknya tatanan bernegara, yang seharusnya berdasarkan konstitusi dan hukum, bukan dengan pencitraan dan manipulatif.
Ijazah Palsu: Bukan Sekadar Skandal Pribadi, Melainkan Masalah Konstitusional
Dugaan ijazah palsu dari Presiden Joko Widodo (sekarang mantan Presiden) tentu bukan hanya soal moral pribadi, tetapi lebih dalam adalah persoalan hukum tata negara, karena telah melanggar asas keabsahan formal dalam pencalonan presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi dan undang-undang.
Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan :
“Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur dan adil, memiliki kemampuan memimpin, sehat jasmani dan rohani, serta berpendidikan minimal tamat Sekolah Menengah Atas atau yang sederajat.”
Jika benar bahwa ijazah tersebut palsu, maka seseorang telah secara sadar melakukan pemalsuan dokumen negara dan berarti juga telah menipu rakyat Indonesia secara konstitusional, yang berimplikasi sangat serius terhadap legalitas seluruh tindakan, keputusan, dan regulasi yang dikeluarkan selama masa kepemimpinan tersebut.
⸻
5 (lima) Cermin Kebobrokan Nasional yang Terungkap
Dengan terang benderang telah memperlihatkan kebobrokan kolektif yang melibatkan seluruh pilar demokrasi :
1. Kekuasaan Bisa Diraih Tanpa Integritas dan Kapasitas
Kita telah menyaksikan bahwa integritas akademik dan kapasitas intelektual bukanlah prasyarat utama untuk menduduki Jabatan Tertinggi Negara.
Yang lebih dibutuhkan hanyalah pencitraan, logistik politik dan dukungan oligarki.
Ini jelas bertentangan dengan semangat meritokrasi dan hakikat kepemimpinan luhur dalam Pancasila.
2. Kaum Intelektual dan Cendekiawan Menjadi Saksi Bisu
Seluruh disiplin ilmu dengan menyandang gelar Profesor, Doktor dan para pemikir, yang seharusnya menjadi benteng moral dan akal sehat bangsa, justru telah menjadi pelengkap penderita.
Tidak sedikit atau banyak di antaranya justru telah larut dalam kekuasaan atau dibungkam oleh ketakutan.
Padahal menurut Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Namun opini ilmiah hari ini justru telah atau sudah disensor oleh algoritma dan diintimidasi oleh buzzer.
3. Aparat Keamanan dan Intelijen Gagal Menjalankan Fungsi Dasar
Intelijen negara, yang seharusnya memiliki kemampuan mendalam dalam mendeteksi ancaman kedaulatan dan penyusupan kekuasaan illegal, justru tidak berdaya. Atau- barangkali-telah dikooptasi oleh kekuatan asing dan oligarki dalam negeri.
Lantas dimanakah fungsi deteksi dan kontra-intelijen?
Apakah semua ini disebabkan kelengahan? Atau kolaborasi diam-diam?
Bukankah dalam penelusurian teroris, Intelligent kita sangat canggih, teroris yang masuk ke lubang semutpun bisa dan mampu diendus dan ditangkap!.
4. Lembaga Sipil dan Media Dibelenggu oleh Kepentingan
Demokrasi tanpa keberanian media dan LSM adalah demokrasi semu.
Saat ini, tidak salah kalau ada pendapat bahwa media hanya menyuarakan narasi penguasa, bukan suara rakyat.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan:
“Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.”
Kekecewaan yang teramat sangat dalam, apabila Pers telah menjadi corong kekuasaan dan para aktivis sosial banyak yang berubah telah menjadi makelar proyek.
5. Konstitusi Dirusak, UUD 1945 Disesatkan
Ketika penguasa berijazah palsu memimpin-disemua level-maka semua nilai luhur ikut runtuh.
Amandemen UUD 1945 bukan lagi untuk memperbaiki, melainkan untuk mengokohkan kekuasaan, membuka jalan bagi tirani konstitusional.
Bahkan, prinsip kedaulatan rakyat telah digantikan oleh kedaulatan oligarki.
⸻
Saatnya Kembali ke UUD 1945 Asli: Jalan Pulang Bangsa Ini
Bahwa satu-satunya jalan pulang bagi bangsa Indonesia adalah kembali ke UUD 1945 yang asli, sebelum diamandemen 4 kali (1999–2002), karena:
1. UUD 1945 Asli Menjaga Kedaulatan Rakyat
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 asli menyatakan:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Dalam sistem asli, MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara mengontrol arah kebijakan nasional, bukan sekadar pelengkap prosedural seperti sekarang.
2. UUD 1945 Asli Berbasis Pancasila Secara Murni
UUD 1945 yang asli dijiwai oleh Pancasila secara filosofis, bukan liberalisme, bukan individualisme.
Amandemen UUD justru membuka ruang dominasi kekuatan uang dan asing melalui sistem pemilihan langsung yang mahal dan manipulatif.
3. UUD 1945 Asli Memberikan Garansi Terhadap Keadilan Sosial
Pasal 33 UUD 1945 (sebelum diamandemen) menjamin bahwa:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Namun kini, pasal tersebut dilucuti dan dimaknai sebatas “pengaturan,” bukan lagi “penguasaan.”
Pelucutan Inilah yang telah mengakibatkan dan menciptakan kondisi politik dan ekonomi Indonesia seperti sekarang ini.
⸻
Penutup: Seruan Bela Negara untuk Seluruh Rakyat
SERUAN NASIONAL:
“Negeri ini bukan milik para penguasa yang rakus. Ini rumah besar yang dihuni oleh -/+ 280 juta rakyat Indonesia. Jika kita terus diam, maka kita semua adalah pengkhianat konstitusi. Bangunlah, sadarlah, bersatulah! Kembalilah ke UUD 1945 yang asli! Tegakkan Pancasila sejati! Tegakkan kebenaran, meski langit runtuh!”
Indonesia sedang berada di persimpangan jalan sejarah. Akankah kita terus tenggelam dalam kebohongan?
Ataukah kita memilih jalan keberanian, kejujuran, dan kembali kepada konstitusi yang melahirkan kemerdekaan sejati?
Pilihan itu ada di tangan kita — rakyat Indonesia.
Wallohu’Alam Bisshowab.